Rabu, 26 Desember 2012

PERKEMBANGAN BIOLOGIS MANUSIA INDONESIA

A. Perkembangan Biologis Manusia Indonesia
1. Evolusi Biologis Manusia Secara Umum
Perkembangan bilogis atau fisik manusia berkaitan erat dengan terjadinya proses evolusi manusia. Proses evolusi biologis merupakan proses perubahan secara berangsur-angsur dalam jangka waktu lama yang berkaitan dengan sikap tubuh dan cara bergerak, perubahan fungsi bagian tertentu tubuh manusia, perubahan bentuk dan volume kepala, perkembangan fungsi alat indera terutama hidung dan mata. Berikut akan dijelaskan tentang perubahan atau evolusi tersebut.

a. Sikap tubuh dan cara bergerak
Satu hal penting yang menunjukkan adanya evolusi dikaitkan dengan sikap tubuh dan cara bergerak ini sikap berdiri tegak. Menurut para ahli evolusi, proses menuju sikap berdiri tegak diawali dari kemampuan duduk tegak, berlari tegak, berjalan tegak dan terakhir dengan berdiri tegak untuk waktu yang lama. Dalam proses ini terjadi perubahan struktur pada bagian tulang belakang manusia, berpindahnya titik berat badan pada bagian bawah badan yang memiliki kemampuan untuk menopang berat badan secara keseluruhan. Disamping tulang belakang, tulang-tulang tungkai, tulang paha, tulang kering, tulang jari kaki juga semakin kuat untuk menopang badan.

b. Perubahan fungsi bagian tertentu tubuh manusia
Fungsi jari kaki mengalami reduksi oleh karena tidak lagi dipakai lagi untuk mencengkeram, tetapi lebih pada untuk berpijak. Akibat kemampuan berdiri tegak, maka tangan tidak lagi berfungsi sebagai penunjang badan. Bagian lengan seluruhnya dapat bergerak leluasa, sehingga lebih mudah menggunakan tangan untuk menggenggam dan pekerjaan-pekerjaan cermat lainnya. Evolusi tangan kemudian berpengaruh terhadap evolusi budaya. Karena fungsi tangan tidak lagi sebagai penunjang badan, dan sebaliknya dapat bergerak bebas maka tangan memiliki kemampuan memakai, membawa, membuat alat dan banyak aktivitas lainnya.

c. Evolusi kepala
Kepala atau tengkorak terdiri dari tengkorak bagian muka dan tengkorak otak. Oleh karena itu evolusi kepala berhubungan erat dengan evolusi muka, sebagai bagian paling atas sistem pencernaan dan pernafasan serta volume otak. Evolusi muka diantaranya berkaitan dengan struktur otot-otot muka, geraham, gigi, rahang, kening, dagu, tulang pipi dan otot tengkuk. Sementara yang berkaitan dengan evolusi otak, berkaitan dengan besar atau volume otak dan struktur otak. Misalnya dari Australopithecus ke Pithecantropus volume otak berlipat dua kali (Pithecantropus lebih besar). Pithecantropus ke Homo membesar kurang lebih satu setengah kalinya. Pembesaran volume otak itu tentu saja berpengaruh terhadap bentuk tengkorak (meninggi, membulat ke muka, samping dan belakang). Disamping itu evolusi volume otak tentu juga berpengaruh terhadap evolusi budaya.

d. Evolusi alat pembau (hidung)
Peranan alat pembau menjadi berkurang. Hal ini berakibat pada perubahan rongga hidung yang tidak lagi menghadap ke depan dan bagian otak yang berhubungan dengan pembauan mengalami reduksi.

e. Evolusi alat penglihat (mata)
Berlawanan dengan alat pembau yang mengalami reduksi, alat penglihat menjadi lebih sempurna baik dalam hal struktur maupun fungsi ketajaman melihat.
Evolusi biologis tersebut di atas secara keseluruhan berpengaruh terhadap perkembangan bio-sosial (manusia sebagai makluk sosial) yang mencakup: kemampuan pembuatan alat, organisasi sosial dan komunikasi dengan bahasa.    

2. Evolusi Biologis Manusia Purba Indonesia
Berdasarkan temuan-temuan fosil manusia prasejarah Indonesia, para arkeolog membedakan jenis manusia purba di Indonesia (sejauh yang ada sekarang) ke dalam beberapa jenis. Dari jenis-jenis yang ada para ahli membuat semacam tingkatan perkembangan dari manusia purba yang tertua hingga yang lebih muda, yang didasarkan pada indikator-indikator tertentu, sebagaimana telah disebutkan di atas.

a. Meganthropus paleojavanicus
Meganthropus paleojavanicus (manusia besar tertua dari Jawa) adalah jenis manusia purba yang paling tua (primitif) yang pernah ditemukan di Indonesia (Jawa). Fosil Meganthropus paleojavanicus pertama kali ditemukan oleh arkeolog, von Koenigswald dan Weidenreich antara tahun 1936-1941 di situs Sangiran pada formasi Pucangan. Fosil yang ditemukan antara lain berupa fragmen tulang rahang atas dan bawah serta sejumlah gigi lepas. Hingga saat ini Meganthropus dikategorikan sebagai jenis manusia purba yang terpisah (berbeda) dari Homo erectus.
Berdasarkan hasil penemuan fosil-fosilnya para ahli menyimpulkan bahwa Meganthropus paleojavanicus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Hidup pada masa Pleistosen awal
• Memiliki rahang bawah yang sangat tegap dan geraham yang besar
• Memiliki bentuk gigi yang homonim
• Memiliki otot-otot kunyah yang kuat
• Bentuk mukanya masif dengan tulang pipi yang tebal, tonjolan kening yang mencolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tidak memiliki dagu.
• Memakan jenis tumbuh-tumbuhan

b. Pithecanthropus
Pithecanthropus (manusia kera) adalah jenis manusia purba yang fosil-fosilnya paling banyak ditemukan di Indonesia. Fosil Pithecanthropus pertama kali ditemukan oleh arkeolog dari Belanda, Eugene Dubois pada tahun 1891 di Trinil, Ngawi berupa atap tengkorak dan tulang paha. Berdasarkan temuannya tersebut Dubois menamainya dengan Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berdiri tegak). Disamping Pithecanthropus erectus jenis Pithecanthropus lainnya yang ditemukan di Indonesia adalah Pithecanthropus robustus (manusia kera yang besar), dan Pithecanthropus mojokertensis (manusia kera dari Mojokerta).
Berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan, Pithecanthropus memiliki ciri berikut:
• Pithecanthropus hidup pada masa Pleistosen awal dan tengah (1 juta hingga 1,5 juta tahun silam)
• Tinggi badan sekitar 168 – 180 cm dengan berat badan rata-rata 80 – 100 kg
• Berjalan tegak
• Volume otaknya sekitar 775 cc – 975 cc
• Batang tulang lurus dengan tempat-tempat perlekatan otot yang sangat nyata
• Bentuk tubuh dan anggota badan tegap
• Alat pengunyah dan otot tengkuk sangat kuat
• Bentuk geraham besar dengan rahang yang sangat kuat
• Bentuk kening yang menonjol sangat tebal
• Bentuk hidung tebal
• Tidak memiliki dagu
• Bagian belakang kepala tampak menonjol

c. Homo Sapiens
Diantara fosil yang berhasil ditemukan di Indonesia adalah jenis Soloensis (dari Solo) dan Wajakensis (dari Wajak, Mojokerto). Secara umum Homo Sapiens memiliki ciri yang lebih progresif dibanding Pithecantropus.
Secara khusus ia memiliki ciri-ciri berikut:
• Volume otak bervariasi antara 1000 – 1450 cc
• Otak besar dan otak kecil sudah berkembang (terutama pada bagian kulit otaknya)
• Tinggi badan sekitar 130 – 210 cm dengan berat badan rata-rata 30 – 150 kg.
• Tulang dahi dan bagian belakang tengkorak sudah membulat dan tinggi
• Otot tengkuk mengalami penyusutan
• Alat kunyah dan gigi mengalami penyusutan
• Berjalan dan berdiri tegak sudah lebih sempurna


B. Periodisasi Perkembangan Budaya Pada Masyarakat Awal Indonesia
Berdasarkan hasiil-hasil benda budaya dan alat-alat penunjang kehidupan, periodisasi atau pembabakan zaman pada masyarakat awal Indonesia (masyarakat pra sejarah atau pra aksara) Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu: zaman batu dan zaman logam.
1. Zaman Batu
Merupakan masa dimana sebagian besar alat atau sarana penunjang kehidupan manusia (terutama kehidupan ekonomi) prasejarah terbuat dari batu dalam berbagai bentuk, jenis dan ukurannyanya, yang disesuaikan dengan kegunaan dari masing-masing alat. Meskipun demikian tidak berarti bahwa pada waktu itu manusia prasejarah hanya mengandalkan alat-alat yang terbuat dari batu saja. Tentu saja mereka juga memanfatkan benda lain yang berasal dari kayu, bambu, tulang, atau tanduk hewan. Memang sebagai bukti sejarah benda-benda itu tidak lagi bisa ditemukan karena sudah hancur.
Zaman batu ini dibedakan menjadi: zaman batu tua (paleolitikum), zaman batu madya (mesolitikum), dan zaman batu muda (neolitikum). Pembagian itu dilakukan atas dasar tinggi rendahnya penggunaan teknologi dari benda-benda atau alat hasil budaya masyarakat. Alat-alat yang mereka hasilkan yang terbuat dari batu tidak sama baiknya. Ada yang dibuat sangat kasar, kasar, dan halus. Semakin kasar alat-alat itu, maka diperkirakan semakin tua usianya dan sebaliknya. Di samping ketiga zaman batu itu, juga dikenal zaman batu besar (megalitikum). Yang terakhir ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai media kepercayaan atau religi dari pada fungsi alat ekonomi.

a. Zaman batu tua (paleolitikum)
Pada zaman ini kehidupan manusia prasejarah masih sangat sederhana. Peralatan penunjang kehidupan mereka umumnya terbuat dari batu kasar, yaitu batu alami yang belum dihaluskan. Sampai sekarang, sisa-sisa peninggalan zaman paleolitikum hanya ditemukan di pulau Jawa dan Sulawesi. Kebanyakan manusia prasejarah yang hidup pada mas ini diperkirakan hidup secara berkelompok dalam suatu kelompok kecil, antara 10-15 orang. Mereka hidup secara berpindah atau nomaden, sejalan dengan upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan akan makanan. Kebutuhan akan bahan makanan sangat bergantung pada hasil alam, sehingga yang mereka lakukan hanya sebatas pada aktivitas mengumpulkan makanan (food gathering) dan aktivitas berburu.
Hal lain yang perlu diketahui dari periode ini adalah bahwa zaman paleolitikum memiliki hubungan yang erat dengan sejarah bumi. Oleh karena itu, zaman ini mencakup tiga lapisan bumi, yaitu: Pleistosin Bawah, Pleistosin Tengah, dan Pleistosin Atas.

• Pleistosin Bawah
Sebagian besar pleistosin bawah berupa batu pasir tufa dan tanah liat berwarna biru kehitam-hitaman. Pada lapisan ini telah ditemukan fosil tulang-tulang dan geraham-geraham dari binatang menyusui dan manusia yang tertua dari jenis palaeoanthropus.
Fauna dari masa ini disebut Fauna Jetis, dengan binatangnya seperti gajah, kerbau, sapi, rusa, menjangan, dan kuda air yang masih primitif. Sedangkan dari sisa-sisa manusia yang ditemukan dapat ditentukan bahwa sekurang-kurangnya ada tiga jenis manusia yang pernah hidup pada masa itu. Pertama, Meganthropus Palaeojavanicus (manusia raksasa Jawa) meninggalkan fragmen rahang bawah yang sangat besar, masif, dan primitif bentuknya, serta beberapa geraham. Fosil ini menggambarkan ciri-ciri manusia, meskipun masih ada ciri-ciri yang memiliki kemiripan dengan kera.
Kedua, Pithecanthropus Mojokertensis (Pithecanthropus Robustus) ditemukan pada lapisan yang sama umurnya dengan jenis manusia yang pertama. Sisa-sisa manusia ini ditemukan di Sangiran, dekat Sungai Cemoro berupa bagian belakang tengkorak, kedua tulang pelipis, tiga perempat sisi tengkorak, bagian bawah rahang atas, rahang kanan bawah, dan geraham.
Akhirnya, dalam endapan Pleistosin Bawah telah ditemukan sebuah tengkorak anak kecil di dekat Mojokerto. Tengkorak ini diperkirakan berasal dari manusia ketiga yang masih muda dari jenis Pithecanthropus.

• Pleistosin Tengah
Permulaan zaman Pleistosin Tengah diperkirakan bersamaan waktunya dengan zaman es kedua, di mana permukaan laut turun kira-kira mencapai 25 meter. Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dihubungkan satu sama lain dengan daratan Asia. Akibatnya, terjadi migrasi binatang menyusui pemakan tumbuh-tumbuhan dan binatang buas dari daratan Asia. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila jenis binatang atau hewan yang di pulau Sumatera, Jawa, dan Kalimantan cenderung sama dengan binatang yang hidup di daratan Asia. Sedangkan binatang yang hidup di wilayah Indonesia Timur cenderung sama atau mirip dengan binatang yang hidup di benua Australia.
Fauna dari masa ini disebut Fauna Trinil atau Fauna-Sino-Melayu karena jenis fauna yang ditemukan di daerah Trinil memiliki kesamaan dengan yang dijumpai di Tiongkok. Beberapa jenis fauna itu di antaranya adalah beruang melayu, tapir, badak, rusa. Jenis manusia terpenting dari fauna ini adalah Pithecanthropus Erectus (manusia kera berdiri tegak dari Trinil).
Beberapa penemuan seperti tengkorak, fragmen kecil dari rahang bawah kanan, dan tulang paha diperkirakan dari jenis manusia itu. Selama masa pleistosen tengah, jenis manusia ini tidak banyak mengalami perubahan secara fisik. Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo Soloensis).
Peralatan tertua yang terbuat dari batu berasal dari zaman ini. Alat itu tidak dapat dimasukan ke dalam kebudayaan batu-teras dan ke dalam golongan flake. Alat-alat itu dikenal sebagai kapak genggam, kapak perimbas monofacial, alat-alat serpih, dan beberapa kapak genggam yang telah dikerjakan dua sisinya.

• Pleistosin Atas
Permulaan Pleistosin Atas bersamaan waktunya dengan zaman glasial ketiga. Pithecanthropus dan beberapa jenis binatang menyusui dari zaman sebelumnya tidak dapat mempertahankan diri dan telah lenyap dari muka bumi. Mahkluk baru yang muncul adalah Homo Soloensis (Manusia Solo). 
Manusia Solo memiliki ciri yang hampir sama dengan Pithecanthropus, hanya saja sedikit lebih besar dan lebih maju dalam hal volume otaknya. Diperkirakan manusia Solo adalah keturunan langsung Pithecanthropus. Sepanjang Sungai Solo, dekat Ngandong telah ditemukan tidak kurang dari sebelas kubah tengkorak beserta fragmen-fragmen dari Manusia Solo. Di samping itu, ditemukan pula dua potong tulang kering. Tampaknya, mereka telah hidup berkumpul di sepanjang Sungai Solo.
Di tempat yang sama, juga ditemukan tulang-tulang binatang yang sangat banyak jumlahnya. Tampaknya, mereka telah membunuh beribu-ribu binatang. Dari beberapa fosil tulang binatang yang ditemukan jenis binatang yang banyak adalah gajah dan kuda air.
Beberapa jenis peralatan yang mereka gunakan di antaranya adalah peluru bulat dari batu yang diperkirakan sebagai alat pelempar untuk melumpuhkan binatang buruan, bermacam-macam alat berbentuk kapak perimbas dari tulang dan tanduk.
Di samping Homo Soloensis, ditemukan juga dua tengkorak yang telah membantu di desa Campurdarat, sebelah selatan gunung Wilis. Tengkorak ini termasuk tipe Neoanthropus dan dikenal sebagai Homo Wajakensis. 

b. Zaman batu tengah (mesolitikum)
Setelah zaman es berakhir, maka dataran Sunda terbagi menjadi beberapa pulau. Homo Soloensis lenyap dari muka bumi dan manusia-manusia baru dari jenis Sapien saja yang mampu mencapai pulau-pulau itu. Mereka itu adalah orang-orang Melanesia, Austroloida, dan Negrito.
Binatang-binatang yang hidup pada zaman sebelumnya telah lenyap, kecuali gajah.  Binatang yang hidup pada zaman mesolitikum hampir mirip dengan binatang yang hidup pada masa sekarang. Bedanya, tubuh binatang pada masa mesolitikum memiliki ukuran yang lebih besar.
Kehidupan manusia belum banyak berubah. Mereka umumnya hidup berburu dan mengumpulkan akar-akaran, sayur-sayuran liar, dan binatang kerang. Hidup mengembara merupakan ciri yang paling dominan, meski telah ada tanda-tanda untuk menetap lebih lama di suatu tempat. Perkiraan itu dibuktikan dengan bukit kerang yang tingginya mencapai 4 meter seperti yang ditemukan di pantai Timur Sumatera. Meskipun belum pasti, ketika itu orang diperkirakan telah memelihara anjing. Pada waktu berburu, anjing merupakan binatang yang dapat membantu pekerjaan manusia. Di Sulawesi Selatan, di dalam gua ditemukan sisa-sisa gigi anjing oleh Sarasin bersaudara.
Pada masa mesolitikum terdapat tiga macam kebudayaan yang berbeda satu sama lain, yaitu: kebudayaan Bascon-Hoabin, kebudayaan Toale, dan kebudayaan Sampung. Ketiga kebudayaan itu diperkirakan datang di Indonesia hampir bersamaan waktunya.

• Kebudayaan Bascon-Hoabin
Hasil-hasil peninggalan budaya ini ditemukan dalam gua-gua dan bukit-bukit kerang di Indo Cina, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Daerah-daerah itu merupakan wilayah yang saling berkait-an satu sama lainnya. Kebudayaan ini umumnya berupa alat dari batu kali yang bulat. Sering disebut sebagai “batu teras” karena hanya dikerjakan satu sisi, sedangkan sisi yang lain dibiarkan tetap licin. Jenis alat ini ditemukan di Sumatera dalam jumlah yang besar dan disebut sebagai Sumatralith lonjong.

• Kebudayaan Toale
Umumnya hasil kebudayaan Toale adalah kebudayaan flake dan blade. Kebudayaan ini mendapat pengaruh kuat dari unsur microlith sehingga menghasilkan alat-alat yang berukuran kecil dan terbuat dari batu. Di samping itu, ditemukan alat-alat yang terbuat dari tulang dan kerang. Alat-alat ini sebagian besar merupakan alat berburu. Kebudayaan-kebudayaan yang mirip dengan kebudayaan Toale antara lain ditemukan di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan Besuki), di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci dan gua-gua di Jambi); di Flores, di Timor, dan di Sulawesi.

• Kebudayaan Sampung
Merupakan kebudayaan tulang dan tanduk yang ditemukan di desa Sampung, Ponorogo. Barang yang ditemukan berupa jarum, dan pisau. Pada lapisan yang lain telah ditemukan mata panah. Di samping itu ditemukan juga beberapa kerangka manusia dan tulang binatang buas yang dibor (mungkin sebagai perhiasan atau jimat). Tentang persebarannya tidak banyak diketahui. Namun, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kebuadayaan ini telah berkembang di daerah Sulawesi dan Flores.
c.    Zaman batu muda (neolitikum)
Kira-kira 1000 tahun SM, telah datang bangsa-bangsa baru yang memiliki kebudayaan lebih maju dan tinggi derajatnya. Mereka dikenal sebagai bangsa Indonesia Purba. Beberapa kebudayaan mereka yang terpenting adalah sudah mengenal pertanian (food producing), berburu, menangkap ikan, memelihara ternak jinak (anjing, babi, dan ayam).
Sistem pertanian dilakukan dengan sederhana. Mereka menanam tanaman untuk beberapa kali dan sesudah itu ditinggalkan. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan melaksanakan sistem pertanian yang sama untuk kemudian berpindah lagi. Bangsa Indonesia Purba telah membentuk masyarakat. Mereka mulai hidup menetap, meski untuk waktu yang tidak lama. Mereka telah membangun pondok-pondok yang berbentuk persegi empat, didirikan di atas tiang-tiang kayu, diding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang indah.

d. Zaman batu besar (megalitikum)
Sebenarnya, zaman megalitikum bukan kelanjutan dari zaman batu sebelumnya. Megalitikum muncul bersamaan dengan zaman mesolotikum dan neolitikum. Pada zaman batu pada umumnya, muncul kebudayaan batu besar (megalitikum) seperti menhir, batu berundak, dolmen, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan unsur kepercayaan masyarakat. Di Indonesia penemuan bangunan megalitik antara lain terdapat di daerah Jawa, Sumatra Barat dan Selatan, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan.   

2. Zaman Logam
Disebut zaman logam karena sebagian besar alat penunjang kehidupan manusia pada masa itu terbuat dari logam. Artinya juga mereka telah memiliki kemampuan dalam hal pengolahan logam untuk dibuat alat-alat tertentu sesuai dengan keinginan dan keperluan mereka. Zaman ini memperlihatkan kepada kita tentang kemahiran di bidang teknologi. Dengan demikian pembuatan alat-alat logam menunjukkan tingkat kebudayaan yang tentu saja lebih maju dibanding periode sebelumnya.
Zaman logam sendiri dibedakan atas beberapa zaman, yaitu: zaman Tembaga, zaman Perunggu, dan zaman Besi. Namun demikian, zaman Tembaga tidak pernah berkembang di Indonesia. Dengan demikian, zaman logam di Indonesia dimulai dari zaman perunggu dan zaman besi.

• Zaman Perunggu
Pada periode zaman perunggu ini, manusia sudah memiliki kemampuan mengolah logam perunggu (campuran timah dan tembaga) yang disesuaikan dengan bentuk peralatan yang diperlukan. Jenis alat-alat yang paling banyak ditemukan adalah kapak perunggu. Disamping itu juga tombak. Jenis benda perunggu yang memiliki fungsi sebagai alat atau benda-benda upacara adalah nekara.

• Zaman Besi
Pada masa ini manusia sudah memiliki kemampuan melebur bijih-bijih besi dalam bentuk alat-alat yang dibentuk sesuai keinginan dan fungsinya. Dibandingkan benda-benda atau alat perunggu penemuan benda-benda besi di Indonesia lebih sedikit. Diantara benda-benda besi yang berhasil ditemukan adalah mata pisau, mata kapak, dan tombak. Disamping itu juga ditemukan gelang besi.

• Zaman Arkaekum
Merupakan zaman tertua dan diperkirakan sekitar 2.500 juta tahun yang lalu. Keadaan bumi belum stabil, keadaan bumi dan udara sangat panas, kulit bumi dalam proses pembentukan sehingga belum ada tanda-tanda kehidupan.

• Zaman Paleozoikum
Zaman Paleozoikum berusia sekitar 340 juta yang lalu. Keadaan bumi masih berubah-ubah. Namun demikian, pada masa ini telah ada kehidupan, yaitu makhluk ‘bersel satu’. Makhluk lain yang hidup ada-lah sejenis ikan, reptil, dan lain-lain. Oleh karena itu, zaman ini sering disebut zaman primer atau zaman pertama.

• Zaman Mesozoikum
Zaman Mesozoikum berusia sekitar 140 juta tahun yang lalu. Pada zaman ini kehidupan berkembang dengan pesat, terutama binatang-binatang yang sangat besar seperti dinosaurus, atlantosaurus, dan jenis-jenis burung yang besar. Zaman ini sering disebut zaman reptil karena makhluk hidup sejenis reptil berkembang sangat pesat. Di samping itu, zaman mesozoikum juga disebut zaman sekunder atau zaman kedua.

• Zaman Neozoikum atau Kainozoikum
Zaman ini berusia sekitar 60 juta tahun yang lalu. Keadaan bumi semakin membaik, perubahan cuaca tidak terlalu besar, dan kehidupan berkembang pesat. Zaman ini dibeda-kan menjadi dua, yaitu:
- Zaman Tersier, yaitu zaman di mana binatang-binatang besar mulai berkurang dan muncul binatang menyusui seperti kera dan monyet.
- Zaman Kuarter, yaitu zaman di mana muncul tanda-tanda kehi-dupan dari manusia purba. Zaman ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
* Kala Pleistosin atau zaman Dilluvium atau zaman Es. Keadaan permukaan bumi mengalami perubahan secara tiba-tiba. Jika keadaan bumi panas, maka es di kutub utara mencair dan menutupi sebagian daratan dan sebaliknya.
* Kala Holosin atau zaman Alluvium, yaitu zaman di mana jenis Homo Sapiens mulai hidup. Homo Sapiens adalah jenis manusia seperti manusia sekarang.

C. Peta Penemuan Manusia Purba dan Hasil Kebudayaannya di Indonesia
Berikut adalah data hasil penemuan fosil-fosil manusia purba di Indonesia yang ditemukan oleh para arkeolog di beberapa situs penting di Jawa.
Wajak : Tengkorak, ruas tulang leher, tulang rahang, gigi, tulang paha, tulang kering
Kedungbrubus : Fragmen rahang bawah kanan
Trinil : Atap tengkorak, tulang paha kiri, fragmen tulang paha kanan dan kiri
Ngandong : Atap tengkorak, tulang dahi, fragmen tulang pendinding kanan, tengkorak batang tulang kering kanan, tulang kering kanan
Sangiran : Fragmen rahang atas kiri, fragmen rahang bawah kanan, atap tengkorak, atap tengkorak rahang atas, batang rahang bawah kanan, fragmen rahang bawah, gigi.
Sangiran : Rahang bawah, batang rahang bawah kanan, atap tengkorak, tulang pipi kiri, gigi, fragmen rahang atas kanan, fragmen rahang atas kanan dan kiri, fragmen rahang bawah dan atas, cetakan dalam tengkorak, fragmen tulang pelipis
Ngandong : Tulang-tulang tengkorak, atap tengkorak, fragmen tulang pinggul
Trinil : Batang tulang paha kanan dan kiri, gigi.

D. Ciri-Ciri Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Kepercayaan Masyarakat Pada Masa Berburu (Food Gathering) dan Masyarakat Pertanian (Food Producing)
1. Masyarakat Masa Berburu (Food Gathering)
Disebut sebagai masyarakat masa berburu karena aktivitas kehidupan masyarakatnya dalam upaya mendapatkan makanan tergantung pada apa yang disediakan oleh alam, berburu dari apa yang ada di sekitarnya. Mereka hanya melakukan aktivitas mengumpulkan makanan yang ada (food gathering).

a. Sosial
Ciri-ciri kehidupan sosial masyarakatnya ditandai dengan:
• Mereka hidup berkelompok dalam kelompok-kelompok kecil
• Tidak memiliki tempat tinggal tetap, mereka senantiasa berpindah-pindah (nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lainnya untuk mendapatkan makanan yang disediakan oleh alam.
• Tempat tinggal sementara mereka adalah gua-gua, baik di pedalaman maupun di pinggir aliran sungai, daerah lembah,  atau pantai untuk menghindarkan diri dari serangan binatang buas dan yang dekat dengan sumber makanan.
• Hubungan antara sesama anggota kelompok sangat erat dan mereka saling membantu satu sama lain. Mereka berusaha mempertahankan kelompoknya dari serangan kelompok lain atau serangan binatang buas.
• Meskipun kehidupan mereka masih sederhana, tetapi mereka telah mengenal pembagian tugas. Kaum laki-laki biasanya mendapat tugas yang lebih berat seperti menangkap binatang dan mengumpulkan makanan dari hutan. Sementara, kaum wanita mengurus tugas-tugas yang lebih ringan, seperti memasak dan mengurus anak-anak.
• Masing-masing kelompok masyarakat dipimpin oleh seseorang yang sangat dihormati, disegani dan ditaati oleh anggotanya. Dengan demikian, pada masa berburu dan mengumpulkan makanan telah terlihat tanda-tanda kehidupan sosial, meskipun dalam taraf yang masih sangat sederhana.

b. Budaya
• Budaya hidup (non-materi)
Dalam hal pemilihan tempat tinggal sementara (tempat berlindung) ada kelompok yang memilih daerah pedalaman dan sebaliknya ada yang lebih memilih daerah dekat pantai. Hal demikian pada akhirnya menimbulkan budaya yang berbeda juga. Kelompok yang tinggal di daerah pantai memfokuskan aktivitas hidupnya pada upaya mendapatkan makanan yang dihasilkan dari laut seperti ikan, kerang dan lainnya.
Untuk dapat bertahan hidup dalam lingkungannya tersebut, mereka mulai mengembangkan berbagai bentuk peralatan yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap ikan. Muncullah budaya pembuatan alat anak panah dan tombak baik yang terbuat dari kayu, bambu, tulang binatang atau mata panah dan tombak yang dibuat dari batu. 
Sementara itu, masyarakat yang lebih memilih tinggal di daerah pedalaman umumnya memilih area dekat sungai untuk mendapatkan makanan berupa ikan atau siput air tawar, disamping mengandalkan hasil makanan dari hutan.
• Budaya benda atau alat
Pada awalnya benda-benda hasil budaya mereka sangat sederhana sekali. Benda-benda itu dibuat dan terkait erat dengan aktivitas untuk mendapatkan makanan dan mengolah makanan.
Tahun 1935 di daerah Sungai Baksoka, Punung, Kabupaten Pacitan, von Koenigswald menemukan alat-alat dari dipercayai merupakan hasil budaya masyarakat masa berburu dan mengumpulkan makanan. Dalam perkembangannya kemudian disebut dengan budaya Pacitan. Alat yang ia temukan adalah berupa kapak perimbas. Pada tahun-tahun setelah penemuan tersebut H.R. van Heekeren, Basuki dan R.P. Soejono melakukan penggalian di daerah yang sama dengan lokasi penggalian Koenigswald dan menemukan alat-alat yang memiliki bentuk seperti kapak perimbas, alat-alat serpih dan alat-alat dari tulang.
Selain di daerah Pacitan, berdasarkan hasil penelitian, peralatan manusia purba masa berburu dan mengumpulkan makanan banyak ditemukan di berbagai wilayah, seperti daerah Jampang Kulon (Suka-bumi), Gombong (Jawa Tengah), Perigi dan Tambang Sawah (Bengkulu), Lahat dan Kalianda (Sumatera Selatan), Sembiran Trunyan (Bali), Wangka dan Maumere (Flores), daerah Timor Timur, Awang Bangkal (Kalimantan Timur), dan Cabbenge (Sulawesi Selatan).
Para ahli menafsirkan bahwa yang membuat alat-alat tersebut adalah manusia Pithecanthropus dan kebudayaannya disebut dengan tradisi Paleolitikum.

Kapak perimbas
Adalah benda yang memiliki bentuk seperti kapak tetapi tidak memiliki tangkai yang terbuat dari batu. Cara menggunakan kapak ini adalah dengan menggenggamnya. Disamping daerah Pacitan daerah lainnya yang darinya ditemukan jenis kapak perimbas adalah Ciamis, Gombong, Bengkulu, Lahat, Bali, Flores dan daerah Timor. Berdasarkan lapisan penemuannya, para ahli menyimpulkan bahwa kapak perimbas adalah hasil budaya Pithecantropus erectus.
Selain di Indonesia, kapak jenis ini juga ditemukan di beberapa negara Asia, seperti Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Pilipina, dan Cina sehingga sering dikelompokkan dalam kebudayaan Bascon-Hoabin.

Kapak genggam
Kapak genggam memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas, tetapi lebih kecil dan belum diasah. Kapak ini juga ditemukan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Cara menggunakan kapak ini adalah menggenggam bagian yang kecil.

Pahat genggam
Pahat genggam memiliki bentuk lebih kecil dari kapak genggam. Menurut para ahli, pahat ini dipergunakan untuk menggemburkan tanah. Alat ini digunakan untuk mencari ubi-ubian yang dapat dimakan.

Alat-alat dari tulang
Tampaknya, tulang-tulang binatang hasil buruan telah dimanfaatkan untuk membuat alat seperti pisau, belati, mata tombak, mata panah, dan lain-lainnya. Alat-alat ini banyak ditemukan di Ngandong dan Sampung (Ponorogo). Oleh karena itu, pembuatan alat-alat ini sering disebut kebudayaan Sampung.

Blade, Flake, dan Microlith
Alat-alat ini banyak ditemukan di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan Besuki); di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci dan gua-gua di Jambi); di Flores, di Timor, dan di Sulawesi. Semua alat-alat itu sering disebut sebagai kebudayaan Toale atau kebudayaan serumpun.

Alat-alat serpih
Adalah alat-alat yang terbuat dari pecahan batu yang dibuat dengan bentuk yang sangat sederhana yang kemungkinan besar dibuat sesuai dengan fungsinya masing-masing. Dilihat dari bentuknya maka kemungkinan alat-alat serpih itu antara lain memiliki fungsi sebagai pisau, atau alat penusuk. Alat-alat ini di Indonesia banyak ditemukan di daerah Sangiran (Jawa Tengah), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Maumere (Flores), dan Timor. Kebanyakan ditemukan di dalam ceruk atau gua-gua yang merupakan tempat tinggal manusia prasejarah.

c. Ekonomi
Ciri-ciri kehidupan ekonomi masyarakatnya ditandai dengan:
• Kehidupan ekonomi bergantung pada alam (food gathering) oleh karenanya, mereka selalu berpindah untuk mencari bahan makanan, baik dari tumbuh-tumbuhan maupun binatang.
• Mereka belum mengenal sistem pertanian (bercocok tanam)
• Aktivitas berburu dilakukan secara berkelompok
• Lingkungan ekonomi mereka ada yang di daerah pedalaman (hutan), pinggir aliran sungai atau daerah tepi pantai

d. Kepercayaan
Sistem kepercayaan telah muncul sejak masa kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan. Kuburan pra-sejarah merupakan bukti bahwa masyarakat telah memiliki anggapan tertentu dan memberikan penghormatan kepada orang yang telah meninggal. Masyarakat percaya bahwa orang yang meninggal, rohnya akan pergi suatu tempat. Bahkan, jika orang itu berilmu atau berpengaruh dapat memberikan perlindungan atau nasihat kepada mereka yang mengalami kesulitan.

2. Masyarakat Pertanian atau Bercocok Tanam
Seiring dengan makin berkembangnya pola pikir dan kecerdasan manusia terutama dikaitkan dengan upaya mempertahankan kehidupan mereka, menyebabkan munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal dalam dalam suatu area wilayah tertentu. Mereka mulai memikirkan upaya untuk memenuhi sendiri kebutuhan makanan yang cukup untuk masa waktu tertentu. Munculnya kemudian budaa pertanian atau budaya cocok tanam di Indonesia. Pola hidup lama dari para pendahalu mereka yang nomaden mulai ditinggalkan.
Hasil dari penemuan bukti-bukti arkeologis juga menunjukkan bahwa pada masa ini masyarakat telah memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi, baik dilihat dari sistem sosial ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kesenian yang mereka miliki.

a. Sosial
Ditinjau dari segi sosial kahidupan masyarakat prasejarah masa pertanian dicirikan dengan beberapa hal berikut:
• Terbentuknya komunitas manusia yang menetap menunjukkan bahwa masyarakatnya mulai mengenal adanya pranata sosial, meskipun dalam taraf yang masih sederhana
• Pembagian kerja dan tugas dalam keluarga maupun dalam masyarakat juga semakin tegas

b. Budaya
• Budaya Hidup
Karena merupakan masyarakat dengan pola hidup menetap dan bercocok tanam, maka budaya hidup mereka adalah tradisi mengolah tanah untuk kemudian ditanami dengan aneka tanaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

• Budaya Berupa Hasil Benda atau Alat
Memiliki kemampuan membuat alat-alat penunjang kehidupan sehari-hari yang umumnya terbuat dari batu atau tulang dengan teknik dan seni pembuatan yang lebih halus (sudah diupam). Diantara alat-alat yang menurut para ahli sejarah sebagai hasil budaya masyarakat bercocok tanam antara lain:
- Beliung persegi. Memiliki fungsi yang berkaitan dengan dimensi kepercayaan. Tempat penemuannya antara lain meliputi daerah Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara
- Kapak Lonjong. Memiliki fungsi sebagai alat ekonomi: memotong makanan. Memiliki bentuk yang memperlihatkan sebuah bidang berbentuk lonjong, terbuat dari batu kali hitam dengan seni pembuatan yang sudah diupam. Banyak ditemukan di Maluku, Irian, dan daerah Sulawesi bagian Utara
- Mata Panah. Memiliki fungsi ekonomi: antara lain sebagai alat untuk menangkap ikan. Terbuat dari batu serpih, tulang, dan kemunginan besar juga kayu yang diruncing bagian ujungnya dan dibuat bergerigi pada bagian pinggirnya. Jadi memiliki bentuk yang berbeda dengan mata panah untuk berburu. Banyak ditemukan di dalam gu-gua yang ada di daerah patai atau sungi.
- Aneka benda gerabah (terbuat dari tanah liat). Memiliki fungsi sebagai wadah atau tempat untuk menyimpan. Tradisi gerabah pun hingga saat ini masih menjadi tradisi masyarakat di beberapa daerah atau desa tradisional Indonesia, seperti di Yogyakarta.
- Benda-benda perhiasan. Dibuat tentu saja dengan pola dan bentuk yang masih sangat sederhana. Bahannya pun tentu saja bukan emas atau belian. Kebanyakan mengambil bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan alam tempat tinggal mereka seperti tanah liat, yasper, dan kalsedon
- Benda-benda megalitik, seperti menhir, dolmen, sarkofagus, punden batu berundak, kubur batu dan waruga. Semua benda tersebut memiliki fungsi yang berkaitan dengan tradisi kepercayaan.

a. Ekonomi
• Dengan pola hidup yang menetap, maka sebagian besar upaya pemenuhan kebutuhan hidup manusia masa ini bertumpu pada aktivitas pertanian atau budidaya tanaman
• Mereka menanam jenis tanaman yang pada awalnya tumbuh liar
• Disamping aktivitas pertanian, mereka diperkirakan juga telah menjinakkan hewan (aktivitas pertenakan) seperti anjing, kerbau, sapi, kuda, babi dan lainnya.
• Kehidupan berladang dengan sistem huma telah mereka lakukan

b. Kepercayaan
Penghormatan dan pemujaan kepada roh nenek moyang merupakan unsur utama dalam tradisi kepercayaan masyarakat pada periode ini. Khusus di Indonesia, pemujaan kepada orang yang telah meninggal diwujudkan dalam bentuk pembuatan benda-benda megalitik baik itu sebagai simbol maupun sarana pemujaan. Benda-benda megalitik tersebut diantaranya adalah menhir, dolmen, sarkofagus, punden batu berundak, kubur batu dan waruga.

sumber:
 http://www.senduku.info/index.php?option=com_content&view=category&id=45%3Aa-perkembangan-biologis-manusia-indonesia&Itemid=11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar