A. Perkembangan Biologis Manusia Indonesia
1. Evolusi Biologis Manusia Secara Umum
Perkembangan
bilogis atau fisik manusia berkaitan erat dengan terjadinya proses
evolusi manusia. Proses evolusi biologis merupakan proses perubahan
secara berangsur-angsur dalam jangka waktu lama yang berkaitan dengan
sikap tubuh dan cara bergerak, perubahan fungsi bagian tertentu tubuh
manusia, perubahan bentuk dan volume kepala, perkembangan fungsi alat
indera terutama hidung dan mata. Berikut akan dijelaskan tentang
perubahan atau evolusi tersebut.
a. Sikap tubuh dan cara bergerak
Satu
hal penting yang menunjukkan adanya evolusi dikaitkan dengan sikap
tubuh dan cara bergerak ini sikap berdiri tegak. Menurut para ahli
evolusi, proses menuju sikap berdiri tegak diawali dari kemampuan duduk
tegak, berlari tegak, berjalan tegak dan terakhir dengan berdiri tegak
untuk waktu yang lama. Dalam proses ini terjadi perubahan struktur pada
bagian tulang belakang manusia, berpindahnya titik berat badan pada
bagian bawah badan yang memiliki kemampuan untuk menopang berat badan
secara keseluruhan. Disamping tulang belakang, tulang-tulang tungkai,
tulang paha, tulang kering, tulang jari kaki juga semakin kuat untuk
menopang badan.
b. Perubahan fungsi bagian tertentu tubuh manusia
Fungsi
jari kaki mengalami reduksi oleh karena tidak lagi dipakai lagi untuk
mencengkeram, tetapi lebih pada untuk berpijak. Akibat kemampuan berdiri
tegak, maka tangan tidak lagi berfungsi sebagai penunjang badan. Bagian
lengan seluruhnya dapat bergerak leluasa, sehingga lebih mudah
menggunakan tangan untuk menggenggam dan pekerjaan-pekerjaan cermat
lainnya. Evolusi tangan kemudian berpengaruh terhadap evolusi budaya.
Karena fungsi tangan tidak lagi sebagai penunjang badan, dan sebaliknya
dapat bergerak bebas maka tangan memiliki kemampuan memakai, membawa,
membuat alat dan banyak aktivitas lainnya.
c. Evolusi kepala
Kepala
atau tengkorak terdiri dari tengkorak bagian muka dan tengkorak otak.
Oleh karena itu evolusi kepala berhubungan erat dengan evolusi muka,
sebagai bagian paling atas sistem pencernaan dan pernafasan serta volume
otak. Evolusi muka diantaranya berkaitan dengan struktur otot-otot
muka, geraham, gigi, rahang, kening, dagu, tulang pipi dan otot tengkuk.
Sementara yang berkaitan dengan evolusi otak, berkaitan dengan besar
atau volume otak dan struktur otak. Misalnya dari Australopithecus ke
Pithecantropus volume otak berlipat dua kali (Pithecantropus lebih
besar). Pithecantropus ke Homo membesar kurang lebih satu setengah
kalinya. Pembesaran volume otak itu tentu saja berpengaruh terhadap
bentuk tengkorak (meninggi, membulat ke muka, samping dan belakang).
Disamping itu evolusi volume otak tentu juga berpengaruh terhadap
evolusi budaya.
d. Evolusi alat pembau (hidung)
Peranan alat
pembau menjadi berkurang. Hal ini berakibat pada perubahan rongga hidung
yang tidak lagi menghadap ke depan dan bagian otak yang berhubungan
dengan pembauan mengalami reduksi.
e. Evolusi alat penglihat (mata)
Berlawanan
dengan alat pembau yang mengalami reduksi, alat penglihat menjadi lebih
sempurna baik dalam hal struktur maupun fungsi ketajaman melihat.
Evolusi
biologis tersebut di atas secara keseluruhan berpengaruh terhadap
perkembangan bio-sosial (manusia sebagai makluk sosial) yang mencakup:
kemampuan pembuatan alat, organisasi sosial dan komunikasi dengan
bahasa.
2. Evolusi Biologis Manusia Purba Indonesia
Berdasarkan
temuan-temuan fosil manusia prasejarah Indonesia, para arkeolog
membedakan jenis manusia purba di Indonesia (sejauh yang ada sekarang)
ke dalam beberapa jenis. Dari jenis-jenis yang ada para ahli membuat
semacam tingkatan perkembangan dari manusia purba yang tertua hingga
yang lebih muda, yang didasarkan pada indikator-indikator tertentu,
sebagaimana telah disebutkan di atas.
a. Meganthropus paleojavanicus
Meganthropus
paleojavanicus (manusia besar tertua dari Jawa) adalah jenis manusia
purba yang paling tua (primitif) yang pernah ditemukan di Indonesia
(Jawa). Fosil Meganthropus paleojavanicus pertama kali ditemukan oleh
arkeolog, von Koenigswald dan Weidenreich antara tahun 1936-1941 di
situs Sangiran pada formasi Pucangan. Fosil yang ditemukan antara lain
berupa fragmen tulang rahang atas dan bawah serta sejumlah gigi lepas.
Hingga saat ini Meganthropus dikategorikan sebagai jenis manusia purba
yang terpisah (berbeda) dari Homo erectus.
Berdasarkan hasil penemuan
fosil-fosilnya para ahli menyimpulkan bahwa Meganthropus paleojavanicus
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
• Hidup pada masa Pleistosen awal
• Memiliki rahang bawah yang sangat tegap dan geraham yang besar
• Memiliki bentuk gigi yang homonim
• Memiliki otot-otot kunyah yang kuat
•
Bentuk mukanya masif dengan tulang pipi yang tebal, tonjolan kening
yang mencolok dan tonjolan belakang kepala yang tajam serta tidak
memiliki dagu.
• Memakan jenis tumbuh-tumbuhan
b. Pithecanthropus
Pithecanthropus
(manusia kera) adalah jenis manusia purba yang fosil-fosilnya paling
banyak ditemukan di Indonesia. Fosil Pithecanthropus pertama kali
ditemukan oleh arkeolog dari Belanda, Eugene Dubois pada tahun 1891 di
Trinil, Ngawi berupa atap tengkorak dan tulang paha. Berdasarkan
temuannya tersebut Dubois menamainya dengan Pithecanthropus erectus
(manusia kera yang berdiri tegak). Disamping Pithecanthropus erectus
jenis Pithecanthropus lainnya yang ditemukan di Indonesia adalah
Pithecanthropus robustus (manusia kera yang besar), dan Pithecanthropus
mojokertensis (manusia kera dari Mojokerta).
Berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan, Pithecanthropus memiliki ciri berikut:
• Pithecanthropus hidup pada masa Pleistosen awal dan tengah (1 juta hingga 1,5 juta tahun silam)
• Tinggi badan sekitar 168 – 180 cm dengan berat badan rata-rata 80 – 100 kg
• Berjalan tegak
• Volume otaknya sekitar 775 cc – 975 cc
• Batang tulang lurus dengan tempat-tempat perlekatan otot yang sangat nyata
• Bentuk tubuh dan anggota badan tegap
• Alat pengunyah dan otot tengkuk sangat kuat
• Bentuk geraham besar dengan rahang yang sangat kuat
• Bentuk kening yang menonjol sangat tebal
• Bentuk hidung tebal
• Tidak memiliki dagu
• Bagian belakang kepala tampak menonjol
c. Homo Sapiens
Diantara
fosil yang berhasil ditemukan di Indonesia adalah jenis Soloensis (dari
Solo) dan Wajakensis (dari Wajak, Mojokerto). Secara umum Homo Sapiens
memiliki ciri yang lebih progresif dibanding Pithecantropus.
Secara khusus ia memiliki ciri-ciri berikut:
• Volume otak bervariasi antara 1000 – 1450 cc
• Otak besar dan otak kecil sudah berkembang (terutama pada bagian kulit otaknya)
• Tinggi badan sekitar 130 – 210 cm dengan berat badan rata-rata 30 – 150 kg.
• Tulang dahi dan bagian belakang tengkorak sudah membulat dan tinggi
• Otot tengkuk mengalami penyusutan
• Alat kunyah dan gigi mengalami penyusutan
• Berjalan dan berdiri tegak sudah lebih sempurna
B. Periodisasi Perkembangan Budaya Pada Masyarakat Awal Indonesia
Berdasarkan hasiil-hasil benda budaya
dan alat-alat penunjang kehidupan, periodisasi atau pembabakan zaman
pada masyarakat awal Indonesia (masyarakat pra sejarah atau pra aksara)
Indonesia dibagi menjadi dua, yaitu: zaman batu dan zaman logam.
1. Zaman Batu
Merupakan
masa dimana sebagian besar alat atau sarana penunjang kehidupan manusia
(terutama kehidupan ekonomi) prasejarah terbuat dari batu dalam
berbagai bentuk, jenis dan ukurannyanya, yang disesuaikan dengan
kegunaan dari masing-masing alat. Meskipun demikian tidak berarti bahwa
pada waktu itu manusia prasejarah hanya mengandalkan alat-alat yang
terbuat dari batu saja. Tentu saja mereka juga memanfatkan benda lain
yang berasal dari kayu, bambu, tulang, atau tanduk hewan. Memang sebagai
bukti sejarah benda-benda itu tidak lagi bisa ditemukan karena sudah
hancur.
Zaman batu ini dibedakan menjadi: zaman batu tua
(paleolitikum), zaman batu madya (mesolitikum), dan zaman batu muda
(neolitikum). Pembagian itu dilakukan atas dasar tinggi rendahnya
penggunaan teknologi dari benda-benda atau alat hasil budaya masyarakat.
Alat-alat yang mereka hasilkan yang terbuat dari batu tidak sama
baiknya. Ada yang dibuat sangat kasar, kasar, dan halus. Semakin kasar
alat-alat itu, maka diperkirakan semakin tua usianya dan sebaliknya. Di
samping ketiga zaman batu itu, juga dikenal zaman batu besar
(megalitikum). Yang terakhir ini sebenarnya lebih berfungsi sebagai
media kepercayaan atau religi dari pada fungsi alat ekonomi.
a. Zaman batu tua (paleolitikum)
Pada
zaman ini kehidupan manusia prasejarah masih sangat sederhana.
Peralatan penunjang kehidupan mereka umumnya terbuat dari batu kasar,
yaitu batu alami yang belum dihaluskan. Sampai sekarang, sisa-sisa
peninggalan zaman paleolitikum hanya ditemukan di pulau Jawa dan
Sulawesi. Kebanyakan manusia prasejarah yang hidup pada mas ini
diperkirakan hidup secara berkelompok dalam suatu kelompok kecil, antara
10-15 orang. Mereka hidup secara berpindah atau nomaden, sejalan dengan
upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan akan makanan. Kebutuhan akan
bahan makanan sangat bergantung pada hasil alam, sehingga yang mereka
lakukan hanya sebatas pada aktivitas mengumpulkan makanan (food
gathering) dan aktivitas berburu.
Hal lain yang perlu diketahui dari
periode ini adalah bahwa zaman paleolitikum memiliki hubungan yang erat
dengan sejarah bumi. Oleh karena itu, zaman ini mencakup tiga lapisan
bumi, yaitu: Pleistosin Bawah, Pleistosin Tengah, dan Pleistosin Atas.
• Pleistosin Bawah
Sebagian
besar pleistosin bawah berupa batu pasir tufa dan tanah liat berwarna
biru kehitam-hitaman. Pada lapisan ini telah ditemukan fosil
tulang-tulang dan geraham-geraham dari binatang menyusui dan manusia
yang tertua dari jenis palaeoanthropus.
Fauna dari masa ini disebut
Fauna Jetis, dengan binatangnya seperti gajah, kerbau, sapi, rusa,
menjangan, dan kuda air yang masih primitif. Sedangkan dari sisa-sisa
manusia yang ditemukan dapat ditentukan bahwa sekurang-kurangnya ada
tiga jenis manusia yang pernah hidup pada masa itu. Pertama,
Meganthropus Palaeojavanicus (manusia raksasa Jawa) meninggalkan fragmen
rahang bawah yang sangat besar, masif, dan primitif bentuknya, serta
beberapa geraham. Fosil ini menggambarkan ciri-ciri manusia, meskipun
masih ada ciri-ciri yang memiliki kemiripan dengan kera.
Kedua,
Pithecanthropus Mojokertensis (Pithecanthropus Robustus) ditemukan pada
lapisan yang sama umurnya dengan jenis manusia yang pertama. Sisa-sisa
manusia ini ditemukan di Sangiran, dekat Sungai Cemoro berupa bagian
belakang tengkorak, kedua tulang pelipis, tiga perempat sisi tengkorak,
bagian bawah rahang atas, rahang kanan bawah, dan geraham.
Akhirnya,
dalam endapan Pleistosin Bawah telah ditemukan sebuah tengkorak anak
kecil di dekat Mojokerto. Tengkorak ini diperkirakan berasal dari
manusia ketiga yang masih muda dari jenis Pithecanthropus.
• Pleistosin Tengah
Permulaan
zaman Pleistosin Tengah diperkirakan bersamaan waktunya dengan zaman es
kedua, di mana permukaan laut turun kira-kira mencapai 25 meter. Pulau
Jawa, Sumatera, dan Kalimantan dihubungkan satu sama lain dengan daratan
Asia. Akibatnya, terjadi migrasi binatang menyusui pemakan
tumbuh-tumbuhan dan binatang buas dari daratan Asia. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila jenis binatang atau hewan yang di pulau
Sumatera, Jawa, dan Kalimantan cenderung sama dengan binatang yang hidup
di daratan Asia. Sedangkan binatang yang hidup di wilayah Indonesia
Timur cenderung sama atau mirip dengan binatang yang hidup di benua
Australia.
Fauna dari masa ini disebut Fauna Trinil atau
Fauna-Sino-Melayu karena jenis fauna yang ditemukan di daerah Trinil
memiliki kesamaan dengan yang dijumpai di Tiongkok. Beberapa jenis fauna
itu di antaranya adalah beruang melayu, tapir, badak, rusa. Jenis
manusia terpenting dari fauna ini adalah Pithecanthropus Erectus
(manusia kera berdiri tegak dari Trinil).
Beberapa penemuan seperti
tengkorak, fragmen kecil dari rahang bawah kanan, dan tulang paha
diperkirakan dari jenis manusia itu. Selama masa pleistosen tengah,
jenis manusia ini tidak banyak mengalami perubahan secara fisik.
Pithecanthropus Erectus adalah nenek moyang dari Manusia Solo (Homo
Soloensis).
Peralatan tertua yang terbuat dari batu berasal dari
zaman ini. Alat itu tidak dapat dimasukan ke dalam kebudayaan batu-teras
dan ke dalam golongan flake. Alat-alat itu dikenal sebagai kapak
genggam, kapak perimbas monofacial, alat-alat serpih, dan beberapa kapak
genggam yang telah dikerjakan dua sisinya.
• Pleistosin Atas
Permulaan
Pleistosin Atas bersamaan waktunya dengan zaman glasial ketiga.
Pithecanthropus dan beberapa jenis binatang menyusui dari zaman
sebelumnya tidak dapat mempertahankan diri dan telah lenyap dari muka
bumi. Mahkluk baru yang muncul adalah Homo Soloensis (Manusia Solo).
Manusia
Solo memiliki ciri yang hampir sama dengan Pithecanthropus, hanya saja
sedikit lebih besar dan lebih maju dalam hal volume otaknya.
Diperkirakan manusia Solo adalah keturunan langsung Pithecanthropus.
Sepanjang Sungai Solo, dekat Ngandong telah ditemukan tidak kurang dari
sebelas kubah tengkorak beserta fragmen-fragmen dari Manusia Solo. Di
samping itu, ditemukan pula dua potong tulang kering. Tampaknya, mereka
telah hidup berkumpul di sepanjang Sungai Solo.
Di tempat yang sama,
juga ditemukan tulang-tulang binatang yang sangat banyak jumlahnya.
Tampaknya, mereka telah membunuh beribu-ribu binatang. Dari beberapa
fosil tulang binatang yang ditemukan jenis binatang yang banyak adalah
gajah dan kuda air.
Beberapa jenis peralatan yang mereka gunakan di
antaranya adalah peluru bulat dari batu yang diperkirakan sebagai alat
pelempar untuk melumpuhkan binatang buruan, bermacam-macam alat
berbentuk kapak perimbas dari tulang dan tanduk.
Di samping Homo
Soloensis, ditemukan juga dua tengkorak yang telah membantu di desa
Campurdarat, sebelah selatan gunung Wilis. Tengkorak ini termasuk tipe
Neoanthropus dan dikenal sebagai Homo Wajakensis.
b. Zaman batu tengah (mesolitikum)
Setelah
zaman es berakhir, maka dataran Sunda terbagi menjadi beberapa pulau.
Homo Soloensis lenyap dari muka bumi dan manusia-manusia baru dari jenis
Sapien saja yang mampu mencapai pulau-pulau itu. Mereka itu adalah
orang-orang Melanesia, Austroloida, dan Negrito.
Binatang-binatang
yang hidup pada zaman sebelumnya telah lenyap, kecuali gajah. Binatang
yang hidup pada zaman mesolitikum hampir mirip dengan binatang yang
hidup pada masa sekarang. Bedanya, tubuh binatang pada masa mesolitikum
memiliki ukuran yang lebih besar.
Kehidupan manusia belum banyak
berubah. Mereka umumnya hidup berburu dan mengumpulkan akar-akaran,
sayur-sayuran liar, dan binatang kerang. Hidup mengembara merupakan ciri
yang paling dominan, meski telah ada tanda-tanda untuk menetap lebih
lama di suatu tempat. Perkiraan itu dibuktikan dengan bukit kerang yang
tingginya mencapai 4 meter seperti yang ditemukan di pantai Timur
Sumatera. Meskipun belum pasti, ketika itu orang diperkirakan telah
memelihara anjing. Pada waktu berburu, anjing merupakan binatang yang
dapat membantu pekerjaan manusia. Di Sulawesi Selatan, di dalam gua
ditemukan sisa-sisa gigi anjing oleh Sarasin bersaudara.
Pada masa
mesolitikum terdapat tiga macam kebudayaan yang berbeda satu sama lain,
yaitu: kebudayaan Bascon-Hoabin, kebudayaan Toale, dan kebudayaan
Sampung. Ketiga kebudayaan itu diperkirakan datang di Indonesia hampir
bersamaan waktunya.
• Kebudayaan Bascon-Hoabin
Hasil-hasil
peninggalan budaya ini ditemukan dalam gua-gua dan bukit-bukit kerang di
Indo Cina, Siam, Malaka, dan Sumatera Timur. Daerah-daerah itu
merupakan wilayah yang saling berkait-an satu sama lainnya. Kebudayaan
ini umumnya berupa alat dari batu kali yang bulat. Sering disebut
sebagai “batu teras” karena hanya dikerjakan satu sisi, sedangkan sisi
yang lain dibiarkan tetap licin. Jenis alat ini ditemukan di Sumatera
dalam jumlah yang besar dan disebut sebagai Sumatralith lonjong.
• Kebudayaan Toale
Umumnya
hasil kebudayaan Toale adalah kebudayaan flake dan blade. Kebudayaan
ini mendapat pengaruh kuat dari unsur microlith sehingga menghasilkan
alat-alat yang berukuran kecil dan terbuat dari batu. Di samping itu,
ditemukan alat-alat yang terbuat dari tulang dan kerang. Alat-alat ini
sebagian besar merupakan alat berburu. Kebudayaan-kebudayaan yang mirip
dengan kebudayaan Toale antara lain ditemukan di Jawa (dataran tinggi
Bandung, Tuban, dan Besuki), di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci
dan gua-gua di Jambi); di Flores, di Timor, dan di Sulawesi.
• Kebudayaan Sampung
Merupakan
kebudayaan tulang dan tanduk yang ditemukan di desa Sampung, Ponorogo.
Barang yang ditemukan berupa jarum, dan pisau. Pada lapisan yang lain
telah ditemukan mata panah. Di samping itu ditemukan juga beberapa
kerangka manusia dan tulang binatang buas yang dibor (mungkin sebagai
perhiasan atau jimat). Tentang persebarannya tidak banyak diketahui.
Namun, beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kebuadayaan ini telah
berkembang di daerah Sulawesi dan Flores.
c. Zaman batu muda (neolitikum)
Kira-kira
1000 tahun SM, telah datang bangsa-bangsa baru yang memiliki kebudayaan
lebih maju dan tinggi derajatnya. Mereka dikenal sebagai bangsa
Indonesia Purba. Beberapa kebudayaan mereka yang terpenting adalah sudah
mengenal pertanian (food producing), berburu, menangkap ikan,
memelihara ternak jinak (anjing, babi, dan ayam).
Sistem pertanian
dilakukan dengan sederhana. Mereka menanam tanaman untuk beberapa kali
dan sesudah itu ditinggalkan. Mereka berpindah dari satu tempat ke
tempat lain dan melaksanakan sistem pertanian yang sama untuk kemudian
berpindah lagi. Bangsa Indonesia Purba telah membentuk masyarakat.
Mereka mulai hidup menetap, meski untuk waktu yang tidak lama. Mereka
telah membangun pondok-pondok yang berbentuk persegi empat, didirikan di
atas tiang-tiang kayu, diding-dindingnya diberi hiasan dekoratif yang
indah.
d. Zaman batu besar (megalitikum)
Sebenarnya, zaman
megalitikum bukan kelanjutan dari zaman batu sebelumnya. Megalitikum
muncul bersamaan dengan zaman mesolotikum dan neolitikum. Pada zaman
batu pada umumnya, muncul kebudayaan batu besar (megalitikum) seperti
menhir, batu berundak, dolmen, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan
unsur kepercayaan masyarakat. Di Indonesia penemuan bangunan megalitik
antara lain terdapat di daerah Jawa, Sumatra Barat dan Selatan, Sulawesi
Tengah, dan Kalimantan.
2. Zaman Logam
Disebut zaman
logam karena sebagian besar alat penunjang kehidupan manusia pada masa
itu terbuat dari logam. Artinya juga mereka telah memiliki kemampuan
dalam hal pengolahan logam untuk dibuat alat-alat tertentu sesuai dengan
keinginan dan keperluan mereka. Zaman ini memperlihatkan kepada kita
tentang kemahiran di bidang teknologi. Dengan demikian pembuatan
alat-alat logam menunjukkan tingkat kebudayaan yang tentu saja lebih
maju dibanding periode sebelumnya.
Zaman logam sendiri dibedakan
atas beberapa zaman, yaitu: zaman Tembaga, zaman Perunggu, dan zaman
Besi. Namun demikian, zaman Tembaga tidak pernah berkembang di
Indonesia. Dengan demikian, zaman logam di Indonesia dimulai dari zaman
perunggu dan zaman besi.
• Zaman Perunggu
Pada periode zaman
perunggu ini, manusia sudah memiliki kemampuan mengolah logam perunggu
(campuran timah dan tembaga) yang disesuaikan dengan bentuk peralatan
yang diperlukan. Jenis alat-alat yang paling banyak ditemukan adalah
kapak perunggu. Disamping itu juga tombak. Jenis benda perunggu yang
memiliki fungsi sebagai alat atau benda-benda upacara adalah nekara.
• Zaman Besi
Pada
masa ini manusia sudah memiliki kemampuan melebur bijih-bijih besi
dalam bentuk alat-alat yang dibentuk sesuai keinginan dan fungsinya.
Dibandingkan benda-benda atau alat perunggu penemuan benda-benda besi di
Indonesia lebih sedikit. Diantara benda-benda besi yang berhasil
ditemukan adalah mata pisau, mata kapak, dan tombak. Disamping itu juga
ditemukan gelang besi.
• Zaman Arkaekum
Merupakan zaman
tertua dan diperkirakan sekitar 2.500 juta tahun yang lalu. Keadaan bumi
belum stabil, keadaan bumi dan udara sangat panas, kulit bumi dalam
proses pembentukan sehingga belum ada tanda-tanda kehidupan.
• Zaman Paleozoikum
Zaman
Paleozoikum berusia sekitar 340 juta yang lalu. Keadaan bumi masih
berubah-ubah. Namun demikian, pada masa ini telah ada kehidupan, yaitu
makhluk ‘bersel satu’. Makhluk lain yang hidup ada-lah sejenis ikan,
reptil, dan lain-lain. Oleh karena itu, zaman ini sering disebut zaman
primer atau zaman pertama.
• Zaman Mesozoikum
Zaman
Mesozoikum berusia sekitar 140 juta tahun yang lalu. Pada zaman ini
kehidupan berkembang dengan pesat, terutama binatang-binatang yang
sangat besar seperti dinosaurus, atlantosaurus, dan jenis-jenis burung
yang besar. Zaman ini sering disebut zaman reptil karena makhluk hidup
sejenis reptil berkembang sangat pesat. Di samping itu, zaman mesozoikum
juga disebut zaman sekunder atau zaman kedua.
• Zaman Neozoikum atau Kainozoikum
Zaman
ini berusia sekitar 60 juta tahun yang lalu. Keadaan bumi semakin
membaik, perubahan cuaca tidak terlalu besar, dan kehidupan berkembang
pesat. Zaman ini dibeda-kan menjadi dua, yaitu:
- Zaman Tersier,
yaitu zaman di mana binatang-binatang besar mulai berkurang dan muncul
binatang menyusui seperti kera dan monyet.
- Zaman Kuarter, yaitu zaman di mana muncul tanda-tanda kehi-dupan dari manusia purba. Zaman ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
*
Kala Pleistosin atau zaman Dilluvium atau zaman Es. Keadaan permukaan
bumi mengalami perubahan secara tiba-tiba. Jika keadaan bumi panas, maka
es di kutub utara mencair dan menutupi sebagian daratan dan sebaliknya.
*
Kala Holosin atau zaman Alluvium, yaitu zaman di mana jenis Homo
Sapiens mulai hidup. Homo Sapiens adalah jenis manusia seperti manusia
sekarang.
C. Peta Penemuan Manusia Purba dan Hasil Kebudayaannya di Indonesia
Berikut adalah data hasil penemuan
fosil-fosil manusia purba di Indonesia yang ditemukan oleh para arkeolog
di beberapa situs penting di Jawa.
Wajak : Tengkorak, ruas tulang leher, tulang rahang, gigi, tulang paha, tulang kering
Kedungbrubus : Fragmen rahang bawah kanan
Trinil : Atap tengkorak, tulang paha kiri, fragmen tulang paha kanan dan kiri
Ngandong
: Atap tengkorak, tulang dahi, fragmen tulang pendinding kanan,
tengkorak batang tulang kering kanan, tulang kering kanan
Sangiran :
Fragmen rahang atas kiri, fragmen rahang bawah kanan, atap tengkorak,
atap tengkorak rahang atas, batang rahang bawah kanan, fragmen rahang
bawah, gigi.
Sangiran : Rahang bawah, batang rahang bawah kanan, atap
tengkorak, tulang pipi kiri, gigi, fragmen rahang atas kanan, fragmen
rahang atas kanan dan kiri, fragmen rahang bawah dan atas, cetakan dalam
tengkorak, fragmen tulang pelipis
Ngandong : Tulang-tulang tengkorak, atap tengkorak, fragmen tulang pinggul
Trinil : Batang tulang paha kanan dan kiri, gigi.
D.
Ciri-Ciri Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Kepercayaan Masyarakat Pada Masa
Berburu (Food Gathering) dan Masyarakat Pertanian (Food Producing)
1. Masyarakat Masa Berburu (Food Gathering)
Disebut
sebagai masyarakat masa berburu karena aktivitas kehidupan
masyarakatnya dalam upaya mendapatkan makanan tergantung pada apa yang
disediakan oleh alam, berburu dari apa yang ada di sekitarnya. Mereka
hanya melakukan aktivitas mengumpulkan makanan yang ada (food
gathering).
a. Sosial
Ciri-ciri kehidupan sosial masyarakatnya ditandai dengan:
• Mereka hidup berkelompok dalam kelompok-kelompok kecil
•
Tidak memiliki tempat tinggal tetap, mereka senantiasa berpindah-pindah
(nomaden) dari satu tempat ke tempat yang lainnya untuk mendapatkan
makanan yang disediakan oleh alam.
• Tempat tinggal sementara mereka
adalah gua-gua, baik di pedalaman maupun di pinggir aliran sungai,
daerah lembah, atau pantai untuk menghindarkan diri dari serangan
binatang buas dan yang dekat dengan sumber makanan.
• Hubungan
antara sesama anggota kelompok sangat erat dan mereka saling membantu
satu sama lain. Mereka berusaha mempertahankan kelompoknya dari serangan
kelompok lain atau serangan binatang buas.
• Meskipun kehidupan
mereka masih sederhana, tetapi mereka telah mengenal pembagian tugas.
Kaum laki-laki biasanya mendapat tugas yang lebih berat seperti
menangkap binatang dan mengumpulkan makanan dari hutan. Sementara, kaum
wanita mengurus tugas-tugas yang lebih ringan, seperti memasak dan
mengurus anak-anak.
• Masing-masing kelompok masyarakat dipimpin
oleh seseorang yang sangat dihormati, disegani dan ditaati oleh
anggotanya. Dengan demikian, pada masa berburu dan mengumpulkan makanan
telah terlihat tanda-tanda kehidupan sosial, meskipun dalam taraf yang
masih sangat sederhana.
b. Budaya
• Budaya hidup (non-materi)
Dalam
hal pemilihan tempat tinggal sementara (tempat berlindung) ada kelompok
yang memilih daerah pedalaman dan sebaliknya ada yang lebih memilih
daerah dekat pantai. Hal demikian pada akhirnya menimbulkan budaya yang
berbeda juga. Kelompok yang tinggal di daerah pantai memfokuskan
aktivitas hidupnya pada upaya mendapatkan makanan yang dihasilkan dari
laut seperti ikan, kerang dan lainnya.
Untuk dapat bertahan hidup
dalam lingkungannya tersebut, mereka mulai mengembangkan berbagai bentuk
peralatan yang berfungsi sebagai alat untuk menangkap ikan. Muncullah
budaya pembuatan alat anak panah dan tombak baik yang terbuat dari kayu,
bambu, tulang binatang atau mata panah dan tombak yang dibuat dari
batu.
Sementara itu, masyarakat yang lebih memilih tinggal di
daerah pedalaman umumnya memilih area dekat sungai untuk mendapatkan
makanan berupa ikan atau siput air tawar, disamping mengandalkan hasil
makanan dari hutan.
• Budaya benda atau alat
Pada awalnya
benda-benda hasil budaya mereka sangat sederhana sekali. Benda-benda itu
dibuat dan terkait erat dengan aktivitas untuk mendapatkan makanan dan
mengolah makanan.
Tahun 1935 di daerah Sungai Baksoka, Punung,
Kabupaten Pacitan, von Koenigswald menemukan alat-alat dari dipercayai
merupakan hasil budaya masyarakat masa berburu dan mengumpulkan makanan.
Dalam perkembangannya kemudian disebut dengan budaya Pacitan. Alat yang
ia temukan adalah berupa kapak perimbas. Pada tahun-tahun setelah
penemuan tersebut H.R. van Heekeren, Basuki dan R.P. Soejono melakukan
penggalian di daerah yang sama dengan lokasi penggalian Koenigswald dan
menemukan alat-alat yang memiliki bentuk seperti kapak perimbas,
alat-alat serpih dan alat-alat dari tulang.
Selain di daerah
Pacitan, berdasarkan hasil penelitian, peralatan manusia purba masa
berburu dan mengumpulkan makanan banyak ditemukan di berbagai wilayah,
seperti daerah Jampang Kulon (Suka-bumi), Gombong (Jawa Tengah), Perigi
dan Tambang Sawah (Bengkulu), Lahat dan Kalianda (Sumatera Selatan),
Sembiran Trunyan (Bali), Wangka dan Maumere (Flores), daerah Timor
Timur, Awang Bangkal (Kalimantan Timur), dan Cabbenge (Sulawesi
Selatan).
Para ahli menafsirkan bahwa yang membuat alat-alat tersebut
adalah manusia Pithecanthropus dan kebudayaannya disebut dengan tradisi
Paleolitikum.
Kapak perimbas
Adalah benda yang memiliki
bentuk seperti kapak tetapi tidak memiliki tangkai yang terbuat dari
batu. Cara menggunakan kapak ini adalah dengan menggenggamnya. Disamping
daerah Pacitan daerah lainnya yang darinya ditemukan jenis kapak
perimbas adalah Ciamis, Gombong, Bengkulu, Lahat, Bali, Flores dan
daerah Timor. Berdasarkan lapisan penemuannya, para ahli menyimpulkan
bahwa kapak perimbas adalah hasil budaya Pithecantropus erectus.
Selain
di Indonesia, kapak jenis ini juga ditemukan di beberapa negara Asia,
seperti Myanmar, Vietnam, Thailand, Malaysia, Pilipina, dan Cina
sehingga sering dikelompokkan dalam kebudayaan Bascon-Hoabin.
Kapak genggam
Kapak
genggam memiliki bentuk yang hampir sama dengan kapak perimbas, tetapi
lebih kecil dan belum diasah. Kapak ini juga ditemukan hampir di seluruh
wilayah Indonesia. Cara menggunakan kapak ini adalah menggenggam bagian
yang kecil.
Pahat genggam
Pahat genggam memiliki bentuk
lebih kecil dari kapak genggam. Menurut para ahli, pahat ini
dipergunakan untuk menggemburkan tanah. Alat ini digunakan untuk mencari
ubi-ubian yang dapat dimakan.
Alat-alat dari tulang
Tampaknya,
tulang-tulang binatang hasil buruan telah dimanfaatkan untuk membuat
alat seperti pisau, belati, mata tombak, mata panah, dan lain-lainnya.
Alat-alat ini banyak ditemukan di Ngandong dan Sampung (Ponorogo). Oleh
karena itu, pembuatan alat-alat ini sering disebut kebudayaan Sampung.
Blade, Flake, dan Microlith
Alat-alat
ini banyak ditemukan di Jawa (dataran tinggi Bandung, Tuban, dan
Besuki); di Sumatera (di sekeliling danau Kerinci dan gua-gua di Jambi);
di Flores, di Timor, dan di Sulawesi. Semua alat-alat itu sering
disebut sebagai kebudayaan Toale atau kebudayaan serumpun.
Alat-alat serpih
Adalah
alat-alat yang terbuat dari pecahan batu yang dibuat dengan bentuk yang
sangat sederhana yang kemungkinan besar dibuat sesuai dengan fungsinya
masing-masing. Dilihat dari bentuknya maka kemungkinan alat-alat serpih
itu antara lain memiliki fungsi sebagai pisau, atau alat penusuk.
Alat-alat ini di Indonesia banyak ditemukan di daerah Sangiran (Jawa
Tengah), Cabbenge (Sulawesi Selatan), Maumere (Flores), dan Timor.
Kebanyakan ditemukan di dalam ceruk atau gua-gua yang merupakan tempat
tinggal manusia prasejarah.
c. Ekonomi
Ciri-ciri kehidupan ekonomi masyarakatnya ditandai dengan:
•
Kehidupan ekonomi bergantung pada alam (food gathering) oleh karenanya,
mereka selalu berpindah untuk mencari bahan makanan, baik dari
tumbuh-tumbuhan maupun binatang.
• Mereka belum mengenal sistem pertanian (bercocok tanam)
• Aktivitas berburu dilakukan secara berkelompok
• Lingkungan ekonomi mereka ada yang di daerah pedalaman (hutan), pinggir aliran sungai atau daerah tepi pantai
d. Kepercayaan
Sistem
kepercayaan telah muncul sejak masa kehidupan berburu dan mengumpulkan
makanan. Kuburan pra-sejarah merupakan bukti bahwa masyarakat telah
memiliki anggapan tertentu dan memberikan penghormatan kepada orang yang
telah meninggal. Masyarakat percaya bahwa orang yang meninggal, rohnya
akan pergi suatu tempat. Bahkan, jika orang itu berilmu atau berpengaruh
dapat memberikan perlindungan atau nasihat kepada mereka yang mengalami
kesulitan.
2. Masyarakat Pertanian atau Bercocok Tanam
Seiring
dengan makin berkembangnya pola pikir dan kecerdasan manusia terutama
dikaitkan dengan upaya mempertahankan kehidupan mereka, menyebabkan
munculnya kelompok-kelompok masyarakat yang tinggal dalam dalam suatu
area wilayah tertentu. Mereka mulai memikirkan upaya untuk memenuhi
sendiri kebutuhan makanan yang cukup untuk masa waktu tertentu.
Munculnya kemudian budaa pertanian atau budaya cocok tanam di Indonesia.
Pola hidup lama dari para pendahalu mereka yang nomaden mulai
ditinggalkan.
Hasil dari penemuan bukti-bukti arkeologis juga
menunjukkan bahwa pada masa ini masyarakat telah memiliki tingkat
kompleksitas yang tinggi, baik dilihat dari sistem sosial ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi maupun kesenian yang mereka miliki.
a. Sosial
Ditinjau dari segi sosial kahidupan masyarakat prasejarah masa pertanian dicirikan dengan beberapa hal berikut:
•
Terbentuknya komunitas manusia yang menetap menunjukkan bahwa
masyarakatnya mulai mengenal adanya pranata sosial, meskipun dalam taraf
yang masih sederhana
• Pembagian kerja dan tugas dalam keluarga maupun dalam masyarakat juga semakin tegas
b. Budaya
• Budaya Hidup
Karena
merupakan masyarakat dengan pola hidup menetap dan bercocok tanam, maka
budaya hidup mereka adalah tradisi mengolah tanah untuk kemudian
ditanami dengan aneka tanaman untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
• Budaya Berupa Hasil Benda atau Alat
Memiliki
kemampuan membuat alat-alat penunjang kehidupan sehari-hari yang
umumnya terbuat dari batu atau tulang dengan teknik dan seni pembuatan
yang lebih halus (sudah diupam). Diantara alat-alat yang menurut para
ahli sejarah sebagai hasil budaya masyarakat bercocok tanam antara lain:
-
Beliung persegi. Memiliki fungsi yang berkaitan dengan dimensi
kepercayaan. Tempat penemuannya antara lain meliputi daerah Jawa,
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara
- Kapak Lonjong.
Memiliki fungsi sebagai alat ekonomi: memotong makanan. Memiliki bentuk
yang memperlihatkan sebuah bidang berbentuk lonjong, terbuat dari batu
kali hitam dengan seni pembuatan yang sudah diupam. Banyak ditemukan di
Maluku, Irian, dan daerah Sulawesi bagian Utara
- Mata Panah.
Memiliki fungsi ekonomi: antara lain sebagai alat untuk menangkap ikan.
Terbuat dari batu serpih, tulang, dan kemunginan besar juga kayu yang
diruncing bagian ujungnya dan dibuat bergerigi pada bagian pinggirnya.
Jadi memiliki bentuk yang berbeda dengan mata panah untuk berburu.
Banyak ditemukan di dalam gu-gua yang ada di daerah patai atau sungi.
-
Aneka benda gerabah (terbuat dari tanah liat). Memiliki fungsi sebagai
wadah atau tempat untuk menyimpan. Tradisi gerabah pun hingga saat ini
masih menjadi tradisi masyarakat di beberapa daerah atau desa
tradisional Indonesia, seperti di Yogyakarta.
- Benda-benda
perhiasan. Dibuat tentu saja dengan pola dan bentuk yang masih sangat
sederhana. Bahannya pun tentu saja bukan emas atau belian. Kebanyakan
mengambil bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungan alam tempat tinggal
mereka seperti tanah liat, yasper, dan kalsedon
- Benda-benda
megalitik, seperti menhir, dolmen, sarkofagus, punden batu berundak,
kubur batu dan waruga. Semua benda tersebut memiliki fungsi yang
berkaitan dengan tradisi kepercayaan.
a. Ekonomi
• Dengan pola
hidup yang menetap, maka sebagian besar upaya pemenuhan kebutuhan hidup
manusia masa ini bertumpu pada aktivitas pertanian atau budidaya
tanaman
• Mereka menanam jenis tanaman yang pada awalnya tumbuh liar
•
Disamping aktivitas pertanian, mereka diperkirakan juga telah
menjinakkan hewan (aktivitas pertenakan) seperti anjing, kerbau, sapi,
kuda, babi dan lainnya.
• Kehidupan berladang dengan sistem huma telah mereka lakukan
b. Kepercayaan
Penghormatan
dan pemujaan kepada roh nenek moyang merupakan unsur utama dalam
tradisi kepercayaan masyarakat pada periode ini. Khusus di Indonesia,
pemujaan kepada orang yang telah meninggal diwujudkan dalam bentuk
pembuatan benda-benda megalitik baik itu sebagai simbol maupun sarana
pemujaan. Benda-benda megalitik tersebut diantaranya adalah menhir,
dolmen, sarkofagus, punden batu berundak, kubur batu dan waruga.
sumber:
http://www.senduku.info/index.php?option=com_content&view=category&id=45%3Aa-perkembangan-biologis-manusia-indonesia&Itemid=11